Minggu, 26 Juli 2009

Mengenang Partisipasi Banser

Mengenang Partisipasi Politik Banser 1965
Menumpas Makar PKI 1 Oktober 1965
Oleh Agus Sunyoto *
_______________________________________________________________

Aksi sepihak yang dilakukan PKI berpuncak pada pembunuhan atas Pelda Sudjono di Bandar Betsy. Dengan menggunakan cangkul, linggis, pentungan, dan kapak sekitar 200 orang BTI membantai perwira itu. Pembantaian terhadap anggota militer itu mendapat reaksi keras dari Letjen A Yani. Tokoh-tokoh PKI yang mendalangi kemudian diproses secara hukum. Namun hal itu makin menambah keberanian PKI dalam melakukan aksi sepihak.    Keberanian PKI dalam melakukan aksi sepihak, ditunjukkan dalam aksi   yang lebih berani yakni menduduki kantor kecamatan Kepung, Kediri. Camat Samadikun dan Mantri Polisi Musin, melarikan diri dan meminta perlindungan Ketua Ansor Kepung yaitu Abdul Wahid. Untuk sementara, kantor kecamatan dipindah ke rumah Abdul Wahid. Dan sehari kemudian, sekitar 1000 orang Banser melakukan serangan ke kantor kecamatan untuk merebutnya dari kekuasaan PKI. Hanya dengan bantuan Gerwani, ratusan PKI yang menguasai kantor itu bisa lolos dari sergapan Banser. PKI juga telah mulai berani membunuh tokoh PNI. Ceritanya, di desa Senowo, Kenocng, Kediri, tokoh PNI bernama Paisun diculik PKI desa Botorejo dan Biro. Keluarganya lapor kepada Ansor. Waktu dicari, mayat Paisun ditemukan di WC dengan dubur ditusuk bambu tembus ke dada. Banser dibantu warga PNI menyerang para penculik. Tokoh-tokoh PKI dari Botorejo dan Biro dibantai. Malah dalang PKI bernama Djamadi, dibantai sekalian karena menjadi penunjuk jalan PKI. Juni 1965, Naim seorang pendekar PKI desa Pagedangan, Turen, malang menantang Banser sambil membanting Al-Qur'an. Naim dibunuh Samad. Mayatnya dibenamkan di sungai.

KUDETA 1 OKTOBER 1965
Tanggal 1 Oktober 1965 mulai pukul 03.30 sampai 05.00, gerakan makar PKI yang dipimpin oleh Letkol Untung menculik para Jenderal AD yang difitnah sebagai anggota Dewan Jenderal. Letjen Ahmad Yani, Brigjen DI Panjaitan, Mayjen Soetoyo, Mayjen Soeprapto, Brigjen S. Parman, dan
Mayjen Haryono MT mereka culik dan bunuh (Puspen AD, 1965: 9-10). Sekalipun aksi itu terjadi 1 Oktober 1965, PKI menamakan aksinya itu dengan nama "Gerakan 30 September". Tanggal 1 Oktober itu juga, Letkol Untung menyatakan bahwa kekuasaan berada di tangan Dewan Revolusi. Untung juga menyatakan kabinet demisioner. Pangkat para jenderal diturunkan sampai setingkat letnan kolonel, dan prajurit yang mendukung Dewan Revolusi dinaikkan pangkat satu sampai dua tingkat. Aksi sepihak Letkol Untung yang menculik para jenderal dan membentuk Dewan Revolusi serta mendemisioner kabinet, jelas merupakan upaya kudeta. Sebab dalam Dewan Revolusi itu tidak terdapat nama Presiden Soekarno. Kabinet yang didemisioner pun adalah kabinet Soekarno. Dan
enderal-jenderal yang diculik pun adalah jenderal-jenderal yang setia pada Soekarno. Bahkan Jenderal A.H. Nasution, adalah jenderal yang pernah ditugasi Soekarno untuk menumpas PKI dalam pemberontakan di Madiun 1948. Menghadapi aksi sepihak Letkol Untung, tanggal 1 Oktober 1965 itu juga PBNU mengeluarkan pernyataan sikap untuk mengutuk gerakan tersebut. Pada 2 Oktober1965, pimpjna muda NU, Subchan Z.E., membentuk Komando Aksi Pengganyangan Kontra Revolusi Gerakan 30 September disingkat KAP GESTAPU yang mengutuk dan mengganyang aksi kudeta 1 oktober 1965 itu. Tanggal 2 Oktober itu pula Mayjen Sutjipto, Ketua Gabungan V KOTI, mengundang wakil-wakil ormas dan orpol yang setia pada Pancasila ke Mabes KOTI di Jl Merdeka Barat. Rapat kemudian memutuskan untuk secara bulat berdiri di belakang Jenderal Soeharto dan Angkatan Darat (O.G. Roeder, 1987: 48-49). Sementara di Kediri, tanggal 2 Oktober 1965 sudah tersebar pamflet-pamflet yang menyatakan bahwa dalang di balik peristiwa 1 Oktober 1965 adalah PKI.

BENTROK BANSER VS PKI
10 Oktober 1965, sekalipun PKI menyatakan bahwa peristiwa 1 Oktober yang dinamai 'Gerakan 30 September' itu adalah persoalan intern AD dan PKI tidak tahu-menahu, anggota Banser di kabupaten Malang mulai menurunkan papan nama PKI beserta ormas-ormasnya. Hari itu juga, okoh-tokoh PKI di daerah Turen mulai diserang Banser dan dibunuh. Di antara tokoh PKI yang terbunuh saat itu adalah Suwoto, Bowo, dan Kasiadi. Palis, kawan akrab Bowo, karena takut dibunuh Banser malah bunuh diri di kuburan desa Pagedangan. 11 Oktober 1965, Banser beserta santri dari berbagai pesantren di Tulungagung menyerang PKI di kawasan Pabrik Gula Mojopanggung. Sekitar 3 ribu orang PKI yang sudah bersiaga dengan senjata panah, kelewang,
tombak, pedang, clurit, air keras, dan lubang-lubang di dalam rumah, berhasil dilumpuhkan. Tanpa melakukan perlawanan berarti, pasukan PKI itu ditangkapi Banser dan disembelih. Para anggota Banser dan santri yang usianya sekitar 13 - 16 tahun itu, berhasil melumpuhkan para jagoan PKI.
Pada 12 Oktober 1965, sekitar 3 ribu orang anggota Banser mengadakan apel di alun-alun Kediri. Setelah apel usai, mereka bergerak menurunkan papan nama PKI beserta ormas-ormasnya di sepanjang jalan yang mereka lewati. Di markas PKI di desa Burengan, telah siaga sekitar 5 ribu orang PKI dengan bermacam- macam senjata. Iring-iringan Banser yang dipimpin Bintoro, Ubaid dan Nur Rohim itu kemudian dihadang oleh PKI. Terjadi bentrokan berdarah dalam bentuk tawuran
massal. Sekitar 100 orang PKI di sekitar markas itu tewas. Sementara, di pihak Banser tidak satupun jatuh korban. Dalam peristiwa itu, Banser mendapat pujian dari Letkol Soemarsono, komandan Brigif 6 Kediri karena kemenangan mutlak Banser dalam tawuran massal itu. Pada 13 Oktober 1965, sekitar 10 ribu orang PKI di kecamatan Kepung, Kediri, melakukan unjuk kekuatan dalam upacara pemakaman mayat Sikat tokoh PKI setempat yang tewas dalam peristiwa di Burengan. Mereka menyatakan akan membalas kematian para pimpinan mereka. Dan sore hari, dua orang santri dari pondok Kencong yang pulang ke desanya di Dermo, Plosoklaten, dicegat di tengah jalan. Seorang dibunuh. Tubuh dicincang. Seorang dikubur hidup-hidup. Kematian dua orang santri yang masih remaja itu, membuat Banser marah. Tapi mereka belum berani menyerbu ke desa Dermo, karena kedudukan PKI di situ sangat kuat. Akhirnya, Banser setempat meminta bantuan Banser
dari pondok Tebuireng, Jombang. Dengan kekuatan lima truk, Banser
Tebuireng masuk ke desa Dermo. Truk mereka diberi tulisan BTI singkatan dari Banser Tebu Ireng. Rupanya, PKI menduga bahwa BTI itu adalah Barisan Tani Indonesia yang merupakan ormas mereka. Walhasil, bagaikan siasat "kuda Troya", pertahanan PKI di desa Dermo dihancurkan dari dalam. Pertarungan antara Banser dengan PKI yang berakibat fatal bagi Banser adalah di Banyuwangi. Ceritanya, Banser dari Muncar yang umumnya dari suku Madura dikenal amat bersemangat mengganyang PKI. Itu sebabnya, pada 17 Oktober 1965, di bawah pimpinan Mursyid, dengan kekuatan tiga truk mereka menyerang kubu PKI di Karangasem. Di Karangasem, terjadi
bentrok berdarah setelah Banser tertipu dengan makana beracun. Dalam bentrokan itu 93 orang Banser gugur. Sisanya melarikan diri ke arah Jajag dan ke arah Cluring. Ternyata, Banser yang lari ke Cluring dihadang PKI di desa itu. Sekitar 62 orang Banser dibantai dan dimakamkan di tiga lubang dekat kuburan desa. Pada 27 Oktober 1965, pemerintah mengeluarkan seruan agar masing-masing ormas tidak saling membunuh dan melakukan aksi kekerasan. Siapa saja yang melakukan penyerangan sepihak, akan diadili sebagai penjahat. Seruan itu dimanfaatkan oleh PKI. Mereka melaporkan anggota Banser yang telah membunuh keluarga mereka. Dan jadilah hari-hari sesudah 27 Oktober itu penangkapan dan pemburuan aparat keamanan terhadap Banser.

PENUMPASAN PKI
Dalam bulan November-Desember, setelah sejumlah pimpinan PKI seperti Brigjen Supardjo, Letkol Untung, Nyono, Nyoto, dan Aidit diberitakan tertangkap, makin terkuaklah bahwa perancang kudeta 1 Oktober 1965 adalah PKI. Saat-saat itulah pihak ABRI khususnya AD mulai melakukan
pembersihan dan penumpasan terhadap PKI beserta ormas-ormasnya. Dan tangan kanan yang digunakan oleh pihak militer itu adalah "anak didik" mereka sendiri dalam hal ini adalah Banser yang memiliki jumlah anggota puluhan ribu orang. Dalam suatu aksi penangkapan dan penumpasan PKI di Kediri, misalnya, pihak AD hanya menurunkan 21 personil. Sedang Banser yang dilibatkan
mencapai jumlah 20 ribu orang lebih. Dengan jumlah yang besar itu, diadakan operasi yang disebut "Pagar Betis" yakni wilayah kecamatan Kepung dikepung oleh Banser dalam jarak satu meter tiap orang. Dengan cara pagar betis itulah, PKI tidak dapat lolos. Sekitar 6000 orang PKI
tertangkap (kisah lengkap terdapat dalam buku saya berjudul "Banser Berjihad Menumpas PKI" 1996). Penangkapan besar-besaran juga terjadi di Banyuwangi, Blitar, Malang, Tulungagung, Lumajang dan kesemuanya melibatkan Banser. Mengenai keterlibatan Banser dalam menumpas PKI, itu Komandan Kodim Kediri Mayor Chambali (alm) menyatakan bahwa hal itu merupakan strategi ABRI yang ampuh. Sebab di tubuh Banser tidak tersusupi unsur PKI. Sementara
jika dalam penumpasan itu hanya ABRI yang dilibatkan, maka pihak ABRI sendiri belum bisa menentukan siapa lawan dan siapa kawan karena banyaknya anggota ABRI yang dibina PKI.
OPERASI TRISULA
Tahun 1968, ketika PKI sudah dibubarkan dan pengikutnya ditumpas, terjadi aksi-aksi kerusuhan di Blitar Selatan. Aksi- aksi kerusuhan yang berupa perampokan, penganiayaan, penculikan, dan pembunuhan itu selalu mengambil korban warga NU dan PNI. Sejumlah korban yang terbunuh, misalnya, Kiai Maksum dari Plosorejo, Kademangan. Sesudah itu Imam Masjid Dawuhan. Tokoh PNI yang terbunuh adalah Manun dari desa Dawuhan, kemudian Susanto Kepala Sekolah Panggungasri, dan Sastro Kepala Jawatan Penerangan Binangun. Puncaknya, 2 orang anggota Banser yang sedang jaga keamanan di gardu di bunuh. Para pimpinan Ansor Blitar melaporkan kecurigaan mereka kepada Komandan Kodim akan bangkitnya kembali kekuatan PKI di Blitar. Namun laporan itu tak digubris. Akhirnya, mereka menghubungi seorang aktivis Ansor yang menjadi Danrem Madiun yakni Kolonel Kholil Thohir. Oleh Kholil Thohir disiapkan 3 batalyon yaitu 521, 511, dan 527 untuk operasi yang diberi nama sandi "Operasi Blitar Selatan" . Namun
operasi berkekuatan 3 batalyon itu tidak mampu mengatasi gerakan gerilya PKI. Operasi kemudian diambil-alih oleh Kodam VIII/ Brawijaya yang menurunkan 5 batalyon yaitu 521, 511, 527, 513, dan 531 dengan Perintah Operasi No.01/2/1968. Namun operasi dari Kodam inipun kurang efektif. Akhirnya, setelah dievaluasi diadakan operasi besar-besaran dengan melibatkan semua unsur yakni kelima batalyon ditambah unsur-unsur lain termasuk 10 ribu orang hansip dan warga masyarakat
Blitar Selatan. Surat perintah operasi itu bernomor 02/5/1968. Dan penting dicatat bahwa 10 ribu orang Hansip itu adalah anggota Banser yang diberi pakaian Hansip. Dalam operasi terpadu yang diberi nama sandi "Operasi Trisula" itu, sejumlah tokoh PKI berhasil ditewaskan. Di antara mereka itu adalah Ir Surachman dan Oloan Hutapea. Sedang mereka yang tertangkap di antaranya adalah Ruslan Wijayasastra, Tjugito, Rewang, Kapten Kasmidjan, Kapten Sutjiptohadi, Mayor Pratomo, dan beratus-ratus anggota PKI yang lain. Dan salah satu strategi operasi yang paling fektif dalam Operasi Trisula itu adalah "Pagar Betis" yang melibatkan 10.000 orang Banser ditambah warga masyarakat yang kebanyakan juga anggota Banser yang tidak kebagian seragam. Satu ironi mungkin terjadi dalam Operasi Trisula itu, yakni selama operasi itu berlangsung telah ditangkap sejumlah 182 orang anggota Kodam VIII/Brawijaya di antaranya berpangkat perwira yang ikut dalam operasi tersebut (Pusjarah ABRI, 1995, IV-B:101-108). Berdasar uraian singkat ini, dapat disimpulkan bahwa kelahiran Banser tidak terlepas dari peranan ABRI terutama AD dan Brimob yang ikut membidaninya. Itu sebabnya, keberadaan Banser sebagai paramiliter yang digunakan untuk membantu proses penumpasan PKI oleh ABRI memiliki nilai historis yang kuat, di mana semangat antikomunisme yang terkristalisasi dalam doktrin Banser itu dapat dimanfaatkan sewaktu-waktu oleh pihak ABRI jika negara dalam keadaan terancam (habis)

PKI MALAM LEBIH BERBAHAYA: SEBUAH CATATAN

Oleh: Sulangkang Suwalu

Media Dakwah (No 292, Jumadil Akhir 1419 H/Okt 1998 M) memuat beberapa tulisan tentang komunisme, diantaranya "Gerakan Komunisme, PRD dan Forkot","Ini Baunya Adalah Bau PKI", "PKI Sekarang Lebih Berbahaya".
Menarik apa yang dikatakan KH Kholil Ridwan Lc (Ketua Badan Kerjasama Pondok Pesantren se Indonesia) melalui wawancaranya dengan Media Dakwah,dengan judul "PKI Sekarang Lebih Berbahaya". Di dalamnya KH Kholil antara lain mengatakan:
"Sebenarnya memang selama ini kita tidak menyadari pada hakikatnya orang-orang komunis itu masih banyak di setiap lini geraknya. Yang istilahnya dulu PKI malam hari. Dimana gerakannya dilakukan secara underground atau bawah tanah, sehingga sulit ditelusuri jejak dan manuver-manuvernya. Gerakan itu kita rasa ada, tapi kita tidak bisa menunjuk hidung siapa dia sebenarnya. Setelah gerakan 30 S, kemudian PKI secara resmi dilarang, keberadaan PKI menjadi tidak jelas. Sebelum 30 S, PKI itu jelas, underbow-nya Pemuda Rakyat, BTI, Lekra dan sebagainya. Kalau dia show of force, ada tantangan buat kita di PII, Banser dan lain-lain. Saya melihat tantangan yang jelas itu, sekarang tidak ada, sehingga kita cenderung pasif. Maka perlu menyadarkan umat Islam bahwa PKI malam itu lebih berbahaya...kan golongan PKI sekarang yang terkadang memakai bendera Islam, kadang pakai jilbab, tapi tahu-tahu dia komunis kiri."
Dengan kata lain KH Kholil Ridwan hendak mengatakan PKI yang legal kurang berbahaya dibandingkan dengan PKI yang underground, yang bekerja di bawah tanah. PKI yang legal gerak-geriknya dapat dilihat mata.

KEMAMPUAN BERKOMUNIKASI YANG TINGGI

Apa kah fakta lain yang menunjang penilaian KH Kholil tersebut? Dalam Laporan Utama Media Dakwah di atas, antara lain dikatakan, "PKI boleh bubar atau dibubarkan pemerintah Indonesia. Uni Sovyet boleh runtuh dan berkeping-keping menjadi negara kecil. Tapi apakah komunisme sebagai sebuah paham politik, musnah? Jawabnya, tidak!"
Menurut Taufik Abdullah, "Salah satu strategi PKI yang terkenal ampuh mempengaruhi rakyat adalah tampilannya yang 'easy solution' terhadap berbagai persoalan." Artinya, menurut Taufik Abdullah, seakan-akan semua masalah bisa diselesaikan ketika persatuan di bawah pimpinan PKI.
Kata Taufik selanjutnya, "Salah satu keunggulan PKI adalah kemampuan berkomunikasi yang sangat tinggi. Kalau dilihat retorika politik PKI selama 1950-an, kita seakan-akan bertemu dengan PKI yang banyak. Karena di setiap daerah, waktu atau situasi, PKI akan memperkenalkan rumusan yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Satu-satunya landasan ideologis yang ditampilkan adalah penguasaan kata 'rakyat'. Rakyat adalah PKI, PKI adalah rakyat. Selebihnya setiap tokoh lokal bisa mengatakan apa saja. Penguasaan kata seperti itu adalah suatu strategi wacana PKI."
Keunggulan PKI seperti yang disimpulkan Taufik Abdullah tersebut, tentu juga akan dipergunakannya pula di kala bekerja di bawah tanah. Malah mungkin kualitasnya lebih tinggi lagi.

DILARANG, MAKIN DICARI

Tulisan Taufik Ismail yang berjudul "Ini Baunya Adalah Bau PKI", juga menunjang apa yang disimpulkan KH Kholil di atas bahwa PKI malam lebih berbahaya dari PKI legal. Inilah diantaranya yang dikatakan Taufik Ismail:
"Sekitar 6-7 tahun yang lalu," kata Taufik Ismail, "ketika itu masih dalam pemerintahan Orba, di rumah saya ketika itu anak angkat saya menyampaika bahwasannya di kalangan mahasiswa ada kelompok yang mempelajari Marxisme-Leninisme pada malam hari, mulai pukul 11 sampai pukul 1 malam. Dari pukul 8-11 mereka mempelajari bahan-bahan kuliah dan dari pukul 11-1 mereka mempelajari itu (Marxisme). Saya (mulanya) tidak bisa percaya. Waktu itu (kabar itu) adalah cerita yang fantastis, tidak masuk akal. Kemudian saya katakan apa iya, apa mungkin, itu kan dilarang oleh MPR dan dinyatakan sebagai ideologi yang tidak dapat disebar luaskan. Kemudian saya minta itu dibuktikan."
Kira-kira sebulan kemudian, datang lah bukti itu. Datanglah mahasiswa dengan membawa setumpuk diktat yang digunakan oleh kelompok tersebut. Diktat itu isinya adalah Manifesto Komunis dalam bahasa Indonesia terjemahan, kemudian riwayat hidup Mao Tse Tung, sebuah tulisan filsafat yang ditulis oleh Foyerbach. Dialah yang meletakkan dasar filsafat materialisme, kemudian dianut oleh Marx. Yang ketiga adalah bukunya Manipol Usdek, dalam satu tumpukan fotokopi, barangkali generasi keenam. Maksudnya sudah difotokopi, kemudian difotokopi lagi. Sehingga hurufnya sudah putus-putus, susah untuk membacanya. Kemudian baru saya percaya, hal itu terjadi. Tapi apa yang terjadi 4-5 tahun yang lalu itu, betul-betul tidak masuk akal."
"Apa sebabnya mereka membaca dengan tekun? Karena pertama-tama itu adalah ideologi yang dilarang. Karena sesuatu yang dilarang, anak-anak muda ingin tahu mengapa dilarang. Kemudian ingin tahu, membaca dan kemudian mereka mencari kesana kemari dapat lalu baca. Kelompok-kelompok itu kemudian tumbuh dan orang-orang PKI lama yang tidak seluruhnya belum tentu terbasmi itu, membina mereka, ikut dalam diskusi itu, mengarahkan dan seterusnya. Kemudian
saya lihat ini, kalau begini betul, apa yang dikatakan Amien Rais dalam bukunya 'Cakrawala Islam', ideologi yang semacam ini akan bertahan terus, strukturnya boleh diruntuhkan, bangunan organisasinya bisa dinyatakan terlarang, akan tetapi ideologi itu punya kaki yang banyak dan mereka berjalan kemana-mana." Demikian Taufik Ismail.
Ya, fakta yang dikemukakan Taufik Ismail ini menunjukkan kepada kita bahwa makin dilarang penyebaran Marxisme-Leninisme itu, makin dicari-cari dan dipelajari oleh generasi muda. Menurut logikanya, generasi muda tersebut tentu belum tentu akan mencari-cari dan mempelajari buku-huku
Marxisme-Leninisme, sekiranya tidak ada larangan penyebarannya.

ISU KOMUNIS GENERASI KE EMPAT DAN OTB

Karena sulitnya menelusuri jejak manuver-manuver politik PKI yang bekerja di bawah tanah, seperti dikatakan KH Kholil Ridwan di atas, maka Try Sutrisno selaku Pangab pada tanggal 16 November 1992, waktu apel Komandan-komandan Korem dan Kodim se Indonesia mengatakan, "Unsur-unsur komunis generasi keempat telah berusaha mengubah aksinya melalui jalur
konstitusional, yaitu dengan jalan memanfaatkan kelompok-kelompok tertentu melalui isu keterbukaan, demokratisasi, hak azasi manusia, lingkungan hidup, dikotomi sipil dan militer, pri non-pri, depolitisasi ABRI dan berbagai isu kekinian." (Kompas, 17/11)
Komunis generasi keempat yang dimaksud Try Sutrisno ini, tentu bukan kaum komunis yang telah ditahan belasan tahun tanpa proses hukum, tetapi adalah generasi baru komunis, yang lahir sesudah PKI dilarang. Keterangan Try Sutrisno itu mempunyai dua arti. Pertama, sebagai pengakuan bahwa sistem Orde Baru yang kapitalis, yang bersembunyi di belakang Demokrasi Pancasila dan UUD 1945 bukannya telah mematikan PKI, malah telah melahirkan komunis
generasi ke empat.
Ke dua, sebagai peringatan bagi kelompok-kelompok gerakan pro-demokrasi untuk jangan melanjutkan tuntutan keterbukaan, demokratisasi, hak azasi manusia dan sebagai, agar jangan sampai dicap pula sebagai komunis generasi ke empat. Bila peringatan itu tidak digubris oleh gerakan pro-demokrasi, mereka bisa ditindak, seperti ditindaknya PKI.
Yang jelas Try Sutrisno merasa ada gerakan komunis, tetapi tidak bisa menunjuk hidung siapa yang disebut komunis generasi keempat itu.Selanjutnya pada tahun 1995 karena gerakan pro demokrasi bergerak terus, tak mundur akan dicap sebagai komunis generasi keempat, maka Presiden Suharto melalui Haryono Isman meisukan OTB (Organisasi Tanpa Bentuk) yang
dilakukan door to door (dari pintu ke pintu) untuk menjejal mahasiswa dengan ajaran Marxisme.
Masyarakat menolak isu OTB tersebut, karena tak ada dasar, tak sesuai dengan logika umum. Jika organisasi, tentu ada bentukmya. Isu OTB tersebut dianggap hanya sebagai taktik dan intrik penguasa untuk menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat, agar jangan berani-berani mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan pendapat penguasa. Isu OTB pun kemudian
melenyap. Setelah penyerbuan ke Kantor DPP PDI Megawati di Jl Diponegoro 27 Juli 1996, Menko Polkam Susilo Sudarman mengatakan: bila dulu masih bernama OTB, kini telah berbentuk PRD. PRD dianggapnya komunis. Dalam perkembangan di pengadilan, ternyata PRD bukan komunis. PRD kini pun legal. Kenyataan tersebut hanya menunjukkan betapa ngawurnya Susilo Sudarman yang mengatakan seperti itu.
http://www.minihub.org/siarlist/msg01559.html


Tak dapat dipungkiri, musuh utama PKI adalah umat Islam, terutama para kyainya. Kyai dianggap sebagai musuh karena memiliki ribuan pengikut (jamaah) yang setia.
Salah satu unsur umat Islam yang juga paling dibenci PKI adalah Masyumi. Hal ini diungkapkan oleh KH Roqib, salah seorang korban kebiadaban PKI Madiun 1948 yang masih hidup. Kini KH Roqib adalah imam besar Masjid Jami’ Baitussalam Magetan.
Sebagai salah seorang kyai yang juga tokoh Masyumi, Roqib pun menjadi sasaran yang harus dilenyapkan. Dia diculik PKI sekitar pukul 03.00 dini hari pada tanggal 18 September 1948, tak lama setelah PKI merebut kota Madiun. Sebanyak 12 orang anggota PKI berpakaian hitam dengan ikat kepala merah menciduk Roqib di rumah kediamannya di kampung Kauman, Magetan. Dini hari itu juga dia dibawa ke Desa Waringin Agung dan disekap di sebuah rumah warga.
Di sebuah dusun bernama Dadapan yang termasuk dalam wilayah Desa Bangsri Roqib diseret oleh beberapa orang ke sebuah lubang di tengah ladang. Ketika akan disembelih di depan lubang, tiba-tiba Rokib mengingat pelajaran pencak silat yang diperolehnya. Seketika itu dia menghentakkan kakinya dan meloncat lari ke kebun singkong.
Begitu lolos, Rokib bersembunyi diantara rerimbunan semak belukar hingga siang hari. Naas, siang itu pula dia ditemukan kembali oleh anggota PKI yang mengejarnya. Rokib pun tertangkap dan diikat lagi, lalu disiksa sepanjang jalan dari Desa Bangsri hingga pabrik gula Gorang-gareng.
Di pabrik gula Gorang-gareng, Rokib disekap dalam sebuah loji (rumah-rumah besar untuk asrama karyawan). Di dalam loji terdapat banyak kamar dengan berbagai ukuran.
“Ketika saya datang ke loji itu, kamar-kamarnya sudah penuh dengan tawanan. Satu kamar ukuran 3 x 4 meter diisi kurang lebih 40-45 orang. Bersama 17 orang lainnya, saya dimasukkan ke dalam salah satu kamar yang terdapat di ujung loji,” tutur Rokib.
PKI kemudian menembaki loji tempat Rokib dan tawanan lainnya disekap lebih dari satu jam lamanya. Tubuh-tubuh yang terkena peluru langsung terkapar di lantai bersimbah darah. PKI tidak mempedulikan teriakan histeris para korban yang terkena peluru. Mereka terus saja melakukan tembakan. Diantara belasan orang yang ada di dalam loji, hanya Rokib dan Salis, serta seorang tentara bernama Kafrawi, yang selamat.
Menurut guru ngaji ini, setiap habis menembak, pistol yang digunakan PKI itu tidak bisa menembak lagi, tapi harus dikokang dulu. “Saya bisa selamat dari tembakan karena memperhitungkan jeda waktu antara tiap tembakan sambil bersembunyi di bawah jendela. Kalau tanpa pertolongan Allah, tidak mungkin saya selamat,” kata Rokib getir.
Beberapa saat kemudian tentara Siliwangi datang menjebol pintu loji dengan linggis. Suasana sudah mulai sepi karena PKI telah melarikan diri, takut akan kedatangan pasukan Siliwangi. “Ruangan tempat saya disekap itu benar-benar banjir darah. Ketika roboh dijebol dan jatuh ke lantai, pintu itu mengapung di atas genangan darah. Padahal, ketebalannya sekitar 4 cm. Darah yang membanjiri ruangan mencapai mata kaki,” tutur Rokib.
Selain KH Roqib, terdapat beberapa ulama dan pimpinan pesantren di sekitar Magetan dan Madiun yang jadi korban kebiadaban PKI. Diantaranya adalah KH Soelaiman Zuhdi Affandi (Pimpinan Pesantren Ath-Thohirin, Mojopurno), KH Imam Mursjid (Pimpinan Pesantren Sabilil Muttaqin, Takeran), KH Imam Shofwan (Pimpinan Pesantren Thoriqussu’ada, Rejosari Madiun), serta beberapa kyai lainnya.
Pesantren Ath-Thohirin yang diasuh oleh KH Soelaiman Zuhdi Affandi terletak di Desa Selopuro, Magetan. Pesantren yang mengajarkan ilmu thariqat ini sejak zaman penjahan Belanda maupun Jepang, telah menjadi pusat gerakan perlawanan. Di pesantren inilah para generasi muda disiapkan dan dilatih perang oleh Soelaiman. Soelaiman gugur menjadi korban keganasan PKI pada pemberontakan tahun 1948, mayatnya ditemukan di sumur tua Desa Soco.
Menurut R Bustomi Jauhari, cucu KH Soelaiman Zuhdi Affandi yang kini menjadi pimpinan Pesantren Ath-Thohirin, KH Soelaiman tertangkap pada waktu itu karena santrinya sendiri yang menjadi mata-mata PKI.. Kemana pun sang kiai pergi, PKI pasti tahu. “Keluarga besar kami sangat berduka atas kematian kakek. Dari seluruh keluarga kami ada sebelas orang yang dibunuh PKI. Dan kebanyakan mereka adalah kiai,” ujar Bustomi.
Penangkapan KH Soelaiman Affandi terjadi dua hari setelah PKI mengkudeta pemerintahan yang sah, tepatnya pada tanggal 20 September 1948. Ketika itu Soelaiman sedang bertandang ke Desa Kebonagung kemudian diculik.
Setelah ditahan di penjara Magetan selama empat hari, KH Soelaiman beserta tawanan lainnnya, diangkut dengan gerbong kereta lori ke loji Pabrik Gula Rejosari di Gorang-gareng. Dari Gorang-gareng, para tawanan ini kembali diangkut dengan lori menuju Desa Soco dan dihabisi di sana.
Salah seorang menantu KH Soelaiman Affandi bernama Surono yang juga dibawa lori ke Desa Soco termasuk orang yang mengetahui bagaimana kejamnya PKI dalam menyiksa dan membunuh Kiai Soelaiman di sumur tua desa Soco.
Menurut Surono, sebagaimana dituturkan Bustomi, PKI berulang kali menembak Kiai Soelaiman, namun tidak mempan. Begitu pula ketika dibacok pedang, Kiai Soelaiman hanya diam saja, lecet pun tidak. Setelah putus asa, algojo PKI akhirnya membawa Soelaiman ke bibir sumur lalu menendang punggungnya dari belakang. Tubuh Soelaiman yang tinggi besar itu terjerembab di atas lubang sumur yang tidak seberapa lebar.
Anggota PKI kemudian memasukkan tubuh Kyai Soelaiman secara paksa ke dalam sumur. Begitu menimpa dasar sumur, Kiai Soelaiman berteriak lantang menyebut asma Allah, “laa ilaaha illallah, kafir laknatullah,” secara berulang-ulang dengan nada keras. “Teriakan itu membuat PKI kian kalap dan melempari Soelaiman dengan batu,” tutur Surono.
Surono yang akan dibunuh namun ditunda terus karena dianggap paling muda, akhirnya tercecer di barisan belakang. Setelah kelelahan mengeksekusi puluhan orang dalam sumur tua itu, algojo PKI menyerahkan Surono kepada salah seorang anggota PKI yang lain.
Tak dinyana, ternyata anggota PKI yang akan membunuh Surono itu adalah temannya semasa sekolah dulu. Oleh temannya, Surono dibawa ke tempat gelap lalu dilepaskan. Setelah bebas, Surono kembali ke Mojopurno dan melaporkan kejadian yang dia alami kepada keluarga besar KH Soelaiman Affandi.
Salah satu ulama yang juga pimpinan pesantren yang menjadi musuh utama PKI pada waktu itu adalah KH Imam Mursjid, pimpinan Pesantren Sabilil Muttaqin (PSM) Takeran, Magetan. Sebagai pesantren yang berwibawa di kawasan Magetan, tak heran jika PKI, segera mengincar dan menculik pimpinannya bersamaan dengan dideklarasikannya Republik Soviet Indonesia di Madiun.
Selain sebagai pimpinan pesantren, KH Imam Mursjid juga dikenal sebagai imam Thariqah Syatariyah. Selain itu PSM juga menggembleng para santri dengan latihan kanuragan dan spiritual.
Pada 18 September 1948, tepatnya seusai shalat Jumat, KH Imam Mursjid didatangi tokoh-tokoh PKI. Salah seorang tokoh PKI itu bernama Suhud yang mengajak Kiai Mursjid keluar dari mushola kecil di sisi rumah seorang warga pesantren bernama Kamil. Imam Mursjid akan diajak bermusyawarah mengenai Republik Soviet Indonesia. Kepergian KH Imam Mursjid bersama orang-orang PKI itu tentu saja merisaukan warga pesantren. Menurut mereka, Kiai Imam Mursjid tidak akan menurut begitu saja diajak berunding oleh PKI.
Di depan pendapa pesantren, KH Imam Mursjid dinaikkan ke atas mobil. Mobil itu pun melaju meninggalkan PSM diiringi kecemasan para santri dan warga pesantren yang lain. Kepergian KH Mursjid yang begitu mudah itu bukannya tanpa alasan. PSM telah dikepung oleh ratusan tentara PKI. Bisa jadi Kiai Mursjid tidak mau mengorbankan santrinya dan warga pesantren sehingga memilih mau ‘berunding’ dengan PKI.
Ternyata, kepergian Kiai Mursjid itu adalah untuk selama-lamanya, ia tidak pernah kembali lagi ke pesantrennya. Begitu terjadi pembongkaran lubang-lubang pembantaian PKI di sumur Desa Soco maupun di beberapa tempat lainnya, mayat Kiai Mursjid tidak ditemukan.
Dari daftar korban yang dibuat PKI sendiri pun, nama Kiai Mursjid tidak tercantum sebagai korban yang telah dibunuh. Tak heran, jika santri dan warga PSM masih percaya bahwa KH Imam Mursjid masih hidup hingga saat ini, namun entah berada dimana.
Ulama atau pimpinan pesantren yang menjadi korban keganasan PKI di Madiun adalah KH Imam Shofwan, pimpinan Pondok Pesantren Thoriqussu’ada, Desa Selopuro, Kecamatan Kebonsari. Salah seorang putra KH Imam Shofwan bernama KH Muthi’ Shofwan yang kini mengasuh Pesantren Thoriqussu’ada mengungkapkan, ayahnya ditangkap PKI bersama dengan dua orang kakaknya, yakni KH Zubeir dan KH Bawani.
Penangkapan itu terjadi sehari setelah kepulangan Muthi’ Shofwan dari rumah kosnya di Madiun. Sebagai murid salah satu SMP di Madiun, Muthi’ tiap minggu pulang ke Selopuro, biasanya tiap hari Kamis malam Jumat. “Ketika tiba di rumah pada waktu itu, ayah saya (KH Imam Shofwan) beserta dua kakak saya telah ditangkap oleh PKI. Ibu saya bilang bahwa ayahmu pergi dibawa orang naik dokar,” tutur KH Muthi’ mengingat kejadian itu.
Beberapa hari kemudian dia mendengar berita bahwa ayah dan dua kakaknya itu ditahan di desa Cigrok (sekarang Kenongo Mulyo). “Mas Zubeir dan rombongannya sekitar delapanbelas orang, pada malam Jumat itu, telah dibunuh oleh PKI dan dimasukkan ke dalam sebuah sumur. Karena Mas Zubeir agak sulit dibunuh, maka PKI dengan paksa menceburkannya ke dalam sumur dan menimbunnya dengan batu,” ujar Muthi’.
Pada malam yang sama, ayahnya dan Kiai Bawani serta beberapa tawanan lainnya dibawa ke Takeran. Esoknya, para tawanan ini dipindah lagi ke Pabrik Gula Gorang-gareng lalu dibawa kembali ke Desa Cigrok. Di sebuah sumur tua yang tidak terpakai lagi, KH Imam Shofwan yang saudara kandung KH Soelaiman Affandi itu (pengasuh pesantren Ath-Thohirin, Mojopurno, Magetan) dan Kiai Bawani dibunuh dan dimasukkan ke dalamnya.
Rupanya, ketika dimasukkan ke dalam sumur, KH Imam Shofwan dan Kiai Bawani masih hidup. KH Imam Shofwan bahkan sempat mengumandangkan adzan yang diikuti oleh puteranya. Melihat korbannya masih belum mati di dalam sumur, algojo-algojo PKI tidak peduli. Mereka melempari korban dengan batu lantas menimbunnya dengan jerami dan tanah.
Pada tahun 1963 jenazah para korban kebiadaban PKI yang terkubur di sumur tua Desa Cigrok digali, lalu dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan, Magetan. Jadi sejak tahun 1948 hingga 1963, jenazah para korban PKI masih tertimbun dalam sumur itu.
Menghabisi ulama dan umat Islam memang keinginan kuat PKI, karena ulama dianggap sebagai penghalang berkembangnya ideologi mereka. Komunis sangat anti pada Islam, oleh karena itu jangan dibiarkan bangkit lagi.

5 komentar:

  1. pki kejam. tni dan ormas agama juga kejam. ini semua ulah amerika yg pngn mengadu domba org indo. krn amerika pngn mengeruk kekayaan alam indo.

    BalasHapus
  2. Bukan ulah amerika tapi ulah PKI!... Skali lg PKI ! Jangan coba bodohi orang lain.

    BalasHapus
  3. Seandainya Komunis di Indonesia anti kapitalis, memusuhi dan mengusir mereka dari NKRI serta tdk pernah mengusik Muslim Indonesia, mungkin tidak akan begini nasibnya....

    BalasHapus